Semarang, 14 Mei 2025 – Departemen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (FISIP Undip) melalui Kelompok Bidang Keahlian (KBK) Manajemen Layanan Publik kembali menunjukkan komitmennya dalam menjawab isu-isu global melalui kegiatan akademik internasional. Pada Rabu, 14 April 2025, KBK menyelenggarakan Visiting Lecturer secara daring dengan menghadirkan akademisi dan peneliti tata kelola iklim global, Dr. Novieta Hardeani Sari, Ph.D., dari Newcastle University, United Kingdom.
Acara ini dibuka secara resmi oleh Dekan FISIP Undip, Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. Dalam sambutannya, beliau menekankan bahwa perguruan tinggi harus menjadi ruang strategis untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim dalam diskursus akademik di Indonesia. Menurutnya, menghadirkan pakar internasional adalah langkah penting agar mahasiswa, dosen, dan peneliti memperoleh perspektif global yang dapat menginspirasi solusi lokal.
Dalam kuliahnya yang bertajuk “Public Services Values in the Context of Climate Governance, Deliberative Capacity in Response Crisis”, Dr. Novieta menegaskan bahwa krisis iklim tidak bisa diatasi hanya dengan pendekatan teknokratis semata. Kebijakan iklim, menurutnya, harus bertumpu pada nilai-nilai layanan publik seperti akuntabilitas, transparansi, keadilan, partisipasi, dan responsivitas. Nilai-nilai tersebut penting untuk memperkuat legitimasi kebijakan, meningkatkan kepercayaan masyarakat, serta menjamin keadilan sosial, khususnya bagi kelompok yang paling rentan terdampak. Ia juga mengajukan pertanyaan reflektif, antara lain bagaimana partisipasi publik dapat meningkatkan efektivitas kebijakan iklim, bagaimana akuntabilitas dalam pembiayaan iklim memengaruhi dukungan jangka panjang, serta bagaimana inovasi komunikasi kebijakan dapat menjaga kepercayaan warga.
Lebih jauh, Dr. Novieta mengulas peran deliberasi global melalui Global Assembly (GA), forum partisipasi warga dunia dalam membicarakan isu perubahan iklim. Ia memaparkan hasil penelitiannya yang menganalisis 56 artikel media dari 20 negara tentang GA, yang menunjukkan bahwa liputan media masih terbatas dan cenderung terkonsentrasi di Inggris dan India. Media Inggris lebih menekankan urgensi rekomendasi kebijakan, sementara media India lebih menyoroti peningkatan kesadaran publik. Meski 77 persen peserta GA berasal dari Global South, hanya 32 persen liputan berasal dari media Global South, menunjukkan adanya kesenjangan representasi. Temuan ini juga memperlihatkan bahwa meski GA berhasil mendorong partisipan mengadopsi perilaku ramah lingkungan, pengaruhnya terhadap perubahan struktural kebijakan global masih terbatas.
Dalam kerangka teori deliberasi, Dr. Novieta menyoroti tiga dimensi kapasitas deliberatif yang menjadi indikator penting tata kelola iklim, yakni inklusi, konsekuensi, dan otentisitas. GA relatif berhasil dalam menghadirkan keragaman partisipan, namun distribusi liputan media belum merata. Dampak GA pada kesadaran publik terlihat signifikan, tetapi pengaruh terhadap kebijakan konkret masih lemah. Sementara itu, otentisitas komunikasi para pemimpin opini tetap tinggi karena mayoritas menyampaikan pesan langsung tentang urgensi GA. Hal ini menegaskan bahwa deliberasi publik global memiliki potensi besar, tetapi masih menghadapi tantangan legitimasi di ranah kebijakan.
Ia juga menyoroti tantangan tata kelola iklim global yang masih berkarakter top-down, sarat dengan ketimpangan kekuasaan, dan terbatas secara infrastruktur. Karena itu, diperlukan diplomasi multilateral yang kokoh dan lebih inklusif, kolaborasi transnasional yang melibatkan komunitas lokal serta masyarakat sipil, dan komunikasi berkelanjutan yang mampu membangun kesadaran kolektif lintas budaya. Pendekatan ini diyakini dapat memperkuat posisi Global Assembly sekaligus mendorong transformasi sosial untuk keberlanjutan planet bumi.
Diskusi semakin menarik ketika Prof. Dr. Dra. Endang Larasati, MS, Ketua KBK Manajemen Layanan Publik, memberikan penekanan bahwa nilai layanan publik harus diintegrasikan secara konsisten dalam setiap kebijakan publik agar berfungsi sebagai instrumen pemerataan dan keadilan sosial. Sementara itu, Dr. Dra. Augustin Rina Herawati, M.Si menambahkan bahwa krisis iklim menuntut kolaborasi lintas sektor dan lintas negara, serta penguatan legitimasi deliberasi publik dalam pengambilan keputusan global. Diskusi ini dipandu secara dinamis oleh Mohammad Nurul Huda, S.AP., MPA sebagai moderator, yang berhasil menjaga jalannya forum sekaligus membuka ruang dialog interaktif antara narasumber, mahasiswa, akademisi, dan praktisi.
Kegiatan ini menjadi bukti nyata komitmen FISIP Undip dalam memperluas jejaring akademik internasional dan menghadirkan isu global ke ruang kelas. Melalui forum ini, mahasiswa dan sivitas akademika tidak hanya memperoleh wawasan akademis, tetapi juga pemahaman praktis tentang bagaimana nilai layanan publik dapat menjadi kunci dalam tata kelola krisis iklim yang inklusif, demokratis, dan berkeadilan. Acara ditutup dengan optimisme bahwa Undip dapat terus berkontribusi dalam diskursus global, sekaligus menghadirkan gagasan yang relevan untuk pembangunan nasional dan keberlanjutan planet bumi.